Sabtu, 17 Oktober 2009

MERANTAU







Apa jadinya budaya olahraga tradisional Indonesia digabung dengan tradisi yang mengakar dalam masyarakat Minangkabau dalam palet seni berwujud Film?...Jawabannya adalah MERANTAU.

Pilihan menonton Film Indonesia hari ini (bukan Film barat--istilah selain film Indonesia tidak peduli India,Perancis, atau Hong Kong-- kalau merujuk pada pernyataan pengelola bioskop metropole di Chandra superstore Metro City--) adalah tepat dan pasti kalau menonton di jaringan bioskop "selikur" di Central Plaza Bandar Lampung akhir2 ini. Gak tau deh.... dari 4 teater semua dirajai hasil produksi anak negeri. Bangga?..atau miris karena sering tidak berkesempatan melihat made in Hollywood. Merantau pun sudah diputar berbulan yg lalu di Pulau Jawa...Apapun itu saya bersyukur karena dari Februari 2008 sampai pertengahan tahun ini di bumi Lampung tidak ada bioskop yang representatif.

Akting Christine Hakim menjadi dorongan tersendiri untuk menjadi sedikit "antusias" menikmati film ini pada awalnya. Tapi setelah selesai menikmati sajian apik dari sutradara bule Gareth Evan ini ada sesuatu perasaan nyaman di dada. Perasaan yang hanya datang kalau saya tidak merasa rugi mengeluarkan rupiah untuk menebus sekitar dua jam tempat di sofa beludru merah darah.

Gerakan laga dan setting alam Minangkabau (wuih indah ya...kapan bisa travelling ke sana? dan dalam hati mendoakan bagi semua korban musibah Gempa 30 Sept yang lalu) telah memukau saya...Sudah lama tidak melihat film laga Indonesia yang keren..(kayaknya belum pernah deh..mengingat era Barry Prima dan George Rudy tidak masuk hitungan angkatan saya..he..he).Untuk segi cerita sendiri sih tidak ada adegan yang bikin kening berkerut karena memikirkan hubungan dengan adegan sebelumnya..

Singkat cerita film ini adalah tentang anak muda yang jujur baik hati dan tidak sombong yang masih naif kalo dinilai dari rekan dari daerah asalnya menjalankan tradisi merantau yaitu ''tradisi bagi anak lelaki di minangkabau untuk mencari pengalaman hidup" di kerasnya ibu kota dan malah terseret dalam kasus human traficking untuk mempertahankan nilai yang dianutnya. Film ini sangat cocok dinikmati oleh remaja zaman sekarang yang terbiasa hidup mudah dan nyaman dalam segala hal (Apalagi untuk anak2 Alay...cocok tuh..Gak perlu norak untuk jadi "someone" kan...he..he)

Akting Yuda (Iko Uwais) sebagai pendatang baru mungkin belum secermelang Lukman Sardi atau Nicholas Saputra (dalam ukuran jam terbang dan penghargaan kali ya..penilaian kan subyektif.....), tapi dalam aksi laga saya beri istilah naturally awesome...yah...dia kan emang bisa beneran bela diri. Apa pengaruh sutradara bule (Gareth Evans) menjadikan film ini pas dalam porsinya sebagai film dengan genre aksi laga dalam standar Indonesia ya?..Pastinya anda akan menemukan sesuatu yang beda dari sinetron aksi laga yang dibintangi Roge* Dhan*ar** yang pernah tayang di stasiun TV Indo**** dengan aksi laga yang lebih mirip sirkus karena berlebihannya.

Akhirnya saya merasa cukup puas...keluar dari bioskop (perasaan yang relatif sama seperti habis menyaksikan Pintu Terlarang..) Hanya saja ada hal yang mengganggu...kok ada sih beberapa orangtua bodoh yang mengajak anaknya yang berusia sekitar 6 tahun menonton film ini? Adegan kekerasan dan kata2 kasar dan kotor bertaburan di sepanjang Film ini dan berpotensi menjadikan trauma bagi anak di bawah umur. Mungkin sistem perfilman kita belum ada rating yang jelas seperti di amerika ya, tapi kan ada cap Dewasa di poster film dan flyernya...Gak tau deh..Pihak bioskop pun sepertinya tidak menugaskan stafnya di pintu masuk teater untuk menyeleksi penonton..Sesuatu yang sangat disayangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar