8 months pregnancy
Tampilkan postingan dengan label culture. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label culture. Tampilkan semua postingan
Senin, 28 September 2015
Selasa, 01 September 2015
Payung Juwiring
Selain lurik, ternyata Klaten menyimpan benda khas lain yang hampir terancam punah. Ya..patung cantik yang mudah terlupakan seiring dengan perubahan zaman. Berikut kliping dari harian Kompas hari minggu tanggal 27 September 2015
Kamis, 07 Mei 2015
Indonesian Traditional Headpiece at National Museum
Assalamualaikum, halo sobat.... :)
Lama tak jumpa nih. Maklum, malas banget pemiliknya mengupdate postingan. Biar ini blog gak berdebu dan ditumbuhi sarang laba-laba, disempetin sejenak deh aplod foto-foto hasil jepretan di museum gajah yang udah lama nian terpendam di hard disk.
Foto-foto ini diambil di Museum Nasional atau lebih dikenal dengan museum gajah jakarta pada bulan September 2013, beberapa hari sebelum terjadi pencurian 4 artefak emas di ruangan Khazanah Arkeolog Emas. Sayang banget ya dengan beribu koleksi yang tak ternilai harganya, tingkat pengamanan masih sangat minim. Waktu itu jalan depan museum masih boleh dilewatin motor sih, jadi masih nyaman kesananya.
Dari ribuan koleksi museum, sepertinya menarik kalo untuk postingan ini kita fokus mengamati salah satu bagian pakaian tradisional kita yaitu berbagai topi atau hiasan kepala tradisional Indonesia. Kaya banget ya negara kita? unik dan menarik lagi. Kalo kita sendiri tidak tahu nama dan jenis serta asal berbagai macam benda kebudayaan nusantara, jangan salahkan bangsa lain dong bila suatu saat direbut dan diakui sebagai kebudayaan mereka.
Menurut saya salah satu cara mengenalkan berbagai barang koleksi museum kepada anak muda kekinian bisa melalui media sosial internet. Contohnya adalah The Metropolitan Museum of Art yang mempunyai akun instagram @metmuseum dan dikelola khusus oleh social media manager.
Yuk mulai mengenal dan mencintai budaya sendiri
Semoga berguna dan menambah pengetahuan,
see you next post :)
1. Mahkota/ crown
gold / diamond
Kutai, kalimantan Timur / East Kalimantan/ Borneo
this crown or Ketopong of Sultan Kartanegara of Kutai is made of almost two kg of gold. The shape of the crown is known as brunjungan and is distinguished by a seven tiered pagoda (meru) at the front. The crown first used during the reign of Sultan Muhammad Sulaiman (1845-1899) as a symbol of kingship, the crown played an important roles in various royal ceremonies
2. Mahkota Sultan Siak Sri Indrapura
Riau
Penampakan asli Mahkota Sultan Siak Sri
Indrapura dibuat dari emas bertahtakan berlian dan rubi dengan diameter
33 cm, tinggi 27 cm, dan berat mencapai 1.803,3 g. Mahkota ini dihiasi
oleh tiga bunga teratai bertaburkan batu merah delima dan intan.
Selain itu juga dihiasi dengan filigran
motif sulur-sulur benang emas dan bunga. Daun-daun emas kecil dikaitkan
dengan cincin menggantung di keempat lengkungan mahkota.
Kemudian, pada bagian kening terdapat
inskripsi Arab yang berarti “mahkota emas”, yang terbuat dari kawat emas
tipis. Mahkota emas tersebut saat ini dalam keadaan baik serta terawat
dan menjadi koleksi Museum Nasional dengan nomor inventaris E 26.
3. Topi/ hat
daun pandan, rotan, plastik, katun, daun palem/ pandanus leaf, rattan, cotton, plastic, palm leaf
Bajo, Luwuk, Sulawesi Selatan / South Sulawesi
a hat worn by woman at traditional ceremonies
4. Topi/ hat
daun pandan, rotan, plastik, katun, daun palem/ pandanus leaf, rattan, cotton, plastic, palm leaf
Bajo, Luwuk, Sulawesi Selatan / South Sulawesi
a hat worn by man at traditional ceremonies
5. Peci/hat
Sulawesi
6. Topi/ hat
Nusa Tenggara Timur / East Nusa Tenggara
7. Topi/ hat
Daun Lontar / Palm Leaves
Pulau Rote Nusa Tenggara Timur / East Nusa Tenggara
This hat, specific to the island of Rote. It is called tiilangga in the local language
8. Ketu / Headwear
kain, kristal, kuningan, dan buah bodi/ cloth, crystal, brass, and bodhi fruit
Bali
Ketu is part of ceremonial dress Balinese Hindu Pedanda (high priest). It is worn on the head during ceremonies or temple prayers.
9. Topi Perang / War hat
Rotan, kain, manik-manik, paruh burung/ rattan, cloth, beads, bird's beak
Kalimantan Barat/ West Kalimantan
This hat has a decorative piece of a hornbill. The dayaks believe that the hornbill is God's manifertation to protect human beings. this God Will descend to the earth to protect and bless the earth with fertility. Leaders used this hat during war or traditional war dance.
10. Topi/ hat
Gresik, Jawa Timur/ East Java
Daun Lontar/ lontar leaf
a hat with six horn-like proturions; worn by unmarried man
11. Topi/ Hat
Manik-manik, kain, bulu burung/beads, cloth, bird feather
Dayak Ulu Ajer, kalimantan Barat/ Dayak Ulu ajer, west Kalimantan
This hat used by men of the Dayak Ajer Tribe. Bird feathers have a special meaning, and each dayak group has a different philosophy regarding how the feathers are worn. Beads formerly symbolized prestige in Nusantara and were used only by certain groups. The local people obtained the beads through exchange of forest products with foreign traders from China, India, Middle East, and even Europe.
12. Hiasan Kepala (Eja Pako)/ Headpiece (Eja Pako)
kayu, timah/ wood, tin
Enggano, Bengkulu
This headpiece was worn by aengganp girls performing the celebration dance called kalea. The sound of a traditional kemiu or large snailed shaped shell was the sign to start the dance followed by the dancers singing. the Kalea dance was performed to celebrate important event such as harvest, war, death and other ceremonies.
13. Ikat Kepala (siga) / Headband (siga)
kain kulit kayu, katun/ bark cloth, cotton
Lore, Posso, Sulawesi Tengah
Siga is man's headband or destar made of bark cloth (Fuya) worn in traditional ceremonies. It is decorated with geometric motifs believed to give strength to the wearer
14. Ikat Kepala (siga) / Headband (siga)
kain kulit kayu, katun/ bark cloth, cotton
Lore, Posso, Sulawesi Tengah
Siga is man's headband or destar made of bark cloth (Fuya) worn in traditional ceremonies. It is decorated with geometric motifs believed to give strength to the wearer
15. Tudung Kepala/ Hat
daun palem, manik-manik, kain, pandan/ palm leaves, beads, cloth, pandanus leaves
Muara Lasan, Kalimantan Timur
Dayak's hat are usually worn by woman
16. Bulu Ruwei/ Topi bulu/ Feather Headdress
bulu burung, rotan, kayu/ feather, rattan, wood
Kalimantan Selatan/ South Kalimantan
Sampulan or bulu ruwei is atype of a headdress made the feather of the arguskuau (the argus peasant) it was by men during ritual ceremonies or when waging war
17. Peci / Cap
Dayak Taman, Kalimantan Barat/ West Kalimantan
beludru, manik-manik, benang emas
Head covering is used by man during traditional and other official ceremonies.
18. Mahkota untuk menari/ Dance Crown
Klungkung Bali
Sebelum tahun 1908/ before 1908
bambu, emas, perak, permata/ bamboo, gold, silver, precious stone
19. Mahkota Gelung Agung
Badung Bali
Sebelum tahun 1906/ before 1906
bambu, emas, perak, permata/ bamboo, gold, silver, precious stone
the crown is used during wedding ceremonies of family members of the ruler
20. Mahkota/ crown
Banten Jawa Barat/ West Java
Sebelum tahun 1832/ before 1932
Emas, batu permata, alumunium/ Gold, precious stones, alumunium
The crown's stylized foliate motifs in openwork technique, where a tree of life motif is formalized into niche shapes in repeated panels, and the enameling on the upper segment demonstrate the strong influence of islamic design on the art of this strongly Muslim sultanate. Though the crown is probably only about two hundred years old, clearly it is derived from prototypes similar to Salokoa, the 14th-15th century crown of Gowa, South Sulawesi.
21. Hiasan Kepala/ Head piece
Perak, Kerang, bambu/ silver, seashell
Kayan, Dayak Sintang, Kalimantan
This is a woman's decorative headpiece
22. Hiasan kepala (tudung) / head ornament
Bangkalan Madura Jawa Timur/ East Java
Sebelum 1885/ Before 1885
Beludru, Intan, bulu merak/ velvet, diamonds, peacock feather
23. Topi/ hat
Gowa Sulawesi Selatan
sebelum tahun 1905
besi, emas / iron, gold
Senin, 24 Desember 2012
Khazanah Kain Tradisional Nusantara
Sebagai bagian dari Festival Krakatau ke XXII tahun 2012, pemerintah Propinsi Lampung menyelenggarakan pameran kain-kain tradisional Indonesia. Pameran tersebut bertajuk: Khazanah Kain Tradisional Nusantara. Sounds boring? hahaha mungkin bagi kalangan muda bakal milih mlipir ke mall atau ngupi-ngupi di starbak mokko daripada menengok barang sejenak warisan adiluhung bangsa Indonesia ini. Tapi kalo bukan kita yang peduli, siapa lagi coba?
Pameran wastra atau kain tradisional ini diselenggarakan di Museum Ruwa Jurai Lampung dari tanggal 4 sd 30 Oktober 2012 dengan melibatkan tak kurang dari 31 museum di seluruh penjuru tanah air. Wuih.. kita bisa lihat koleksi asli museum dari Aceh hingga Papua di satu tempat. Bayangkan berapa biaya yang harus kita keluarkan apabila kita mengunjungi museum-museum tersebut satu persatu. Kabar baiknya lagi kita tidak dipungut sepeser pun untuk menikmati koleksi luar biasa ini. Patut dilirik untuk dikunjungi bukan?
Puluhan kain yang terpajang membuktikan bahwa kita tidak hanya punya batik untuk kita banggakan di mata dunia. Berbagai metode dan teknik serta corak dan motif, memberi kita pandangan baru bahwa terdapat nilai filosofi tinggi dalam setiap lembarannya. Informasi dan detail serta cerita unik disertakan dalam display untuk memudahkan pengunjung mengetahui lebih dekat setiap nama, asal, bahan, serta proses pembuatan kain. Jadi dengan lebih mengetahui, paling tidak kita bisa mulai mengenal dan mencintai serta diharapkan turut serta melestarikan salah satu bentuk budaya asli milik bangsa sendiri ini. Sangat sedih sekali ketika kita mengetahui beberapa jenis kain telah punah dan tidak diproduksi lagi. Bahkan ada jenis kain yang hanya dimiliki serta dikoleksi di museum luar negeri.
Puluhan kain yang terpajang membuktikan bahwa kita tidak hanya punya batik untuk kita banggakan di mata dunia. Berbagai metode dan teknik serta corak dan motif, memberi kita pandangan baru bahwa terdapat nilai filosofi tinggi dalam setiap lembarannya. Informasi dan detail serta cerita unik disertakan dalam display untuk memudahkan pengunjung mengetahui lebih dekat setiap nama, asal, bahan, serta proses pembuatan kain. Jadi dengan lebih mengetahui, paling tidak kita bisa mulai mengenal dan mencintai serta diharapkan turut serta melestarikan salah satu bentuk budaya asli milik bangsa sendiri ini. Sangat sedih sekali ketika kita mengetahui beberapa jenis kain telah punah dan tidak diproduksi lagi. Bahkan ada jenis kain yang hanya dimiliki serta dikoleksi di museum luar negeri.
Dari puluhan kain yang terpajang, beberapa kain di bawah ini menarik perhatian saya. informasi yang melengkapi setiap kain, didapatkan dari keterangan yang terdapat di pameran maupun dari buku panduan yang dibagikan secara gratis bagi pengunjung.
1. Kain Sasirangan dari Banjarmasin Kalimantan Selatan, koleksi Museum Negeri "Lambung Mangkurat" Propinsi Kalimantan Selatan
Material: Sutra, pewarna kimia, teknik tritik
Ragam hias berupa garis bergelombang yang pada sasirangan ini disebut naga balimbur, banyak dijumpai pada seni dan mitologi Kalimantan, terutama pada masyarakat pedalaman yang dikenal sebagai masyarakat "Dayak". Awalnya teknik ini diterapkan pada wastra tradisional yang digunakan untuk keperluan tertentu, tetapi saat ini diproduksi secara komersial untuk pakaian. Produksi kain Sasirangan saat ini banyak dijumpai di Banjarmasin.
2. Palepai dari Pugung Tampak Krui Lampung, koleksi dari Museum Ruwa Jurai Propinsi Lampung
Material: Kapas pintal tangan, pewarna alam; pakan tambahan
Palepai adalah kain kapal yang berukuran paling besar, panjangnya mencapai lebih dari tiga meter. Dikenal beberapa jenis palepai, salah satunya adalah yang dihiasi dengan sosok manusia menggunakan hiasan kepala bertanduk yang digambarkan berulang dalam satu sampai tiga baris pada seluruh bidang wastra. Palepai yang dibuat di sepanjang pesisir selatan Lampung, digantung di dinding pada upacara-upacara penting, dan hanya dimiliki oleh keluarga bangsawan.
3. Udeng dari Garut Jawa Barat, koleksi Museum Negeri "Sri Baduga" Provinsi Jawa Barat
Material: Katun, pewarna kimia, batik tulis
Udeng batik ini dipakai dengan cara dilipat dua secara miring dan dililitkan di kepala, digunakan untuk busana resmi. Ragam hiasnya adalah Merak Ngibing. *ngibing? dari translate ke English sih berarti nari hehe...Di daerah Garut, warna krem pada latar kain disebut gumading yang berarti warna daging buah mangga muda.
4. Batik Basure' dari Bengkulu, koleksi Museum Negeri Propinsi Bengkulu
Material: katun; batik tulis
Sulit untuk menentukan apakah batik ini dibuat di Jawa atau di Bengkulu. Batik dengan kaligrafi atau bentuk mirip huruf Arab sangat dihargai di Bengkulu di mana versi biru putih digunakan sebagai selendang oleh orang yang lebih tua, dan sebagai penutup mayat. Sedangkan versi merah putih digunakan oleh orang yang lebih muda, dan pada acara-acara yang berkaitan dengan kesuburan dan kehidupan. Ragam hias angsa berasal dari wastra India.
5. Lipa' Sob'be Are dari Pagatan Kalimantan Selatan (masy Bugis), koleksi lain museum negeri Lambung Mangkurat propinsi Kalimantan Selatan
Material: Benang pabrik, pewarna kimia, benang mas, pakan tambahan
Ragam hias Bouraq (kuda bersayap dengan kepala wanita) pada panel melintang merupakan fitur yang menarik dari wastra ini. Sedangkan pada kotak-kotak kecil terdapat ragam hias singa yang berasal dari lambang-lambang kerajaan Eropa sebagaimana tergambar pada mata uang kuno. Sarung ini digunakan oleh pria ketika beribadah di masjid dan untuk upacara keagaman lainnya.
6. Kain Batik Cirebon
Kain ini memiliki motif khas Cirebon yang sangat terkenal: Mega Mendung.
7. Pakaian Adat laki-laki dari Kalimantan Tengah dan Selatan (masyarakat Ngaju Dayak), koleksi Museum Balanga Kalimantan Tengah
Material: Kulit kayu, kain cita, payet plastik, pasmen;tempa,jahit
Pada mas kini, untuk keperluan berbagai acara publik seperti menyambut tamu dan seni pertunjukan, pakaian kulit kayu dihiasi dengan potongan wastra komersial dan payet plastik. Cawat ini, ewah nyamu, terdiri dari dua rumbai yang digabungkan dengan ikat pinggang katun dan diikat di bagian pinggang, telah dimodifikasi untuk dipakai diluar celana pendek. Sedangkan rompi, baju nyamu, diberi lis pada pinggirannya dan dilengkapi dengan kancing.
8. Bahan Sarung dari Kalimantan Barat (masyarakat Melayu), koleksi Museum Propinsi Kalimantan Barat
Material: Benang Sutera, pewarna kimia, benang emas; pakan tambahan
Sarung (lunggi) dengan ragam hias yang tersebar di seluruh permukaan badan dikenal sebagai 'lunggi bertabur" di Kalimantan Barat. Pada wastra ini dapat dilihat "taburan" kupu-kupu, dan bunga magnolia yang terletak di kaki masing-masing segitiga, serta ragam hias "kawung" di tepi sarung. Ragam hias tabur merupakan ciri khas tenunan Melayu, meskipun kupu-kupu dan bunga magnolia berasala dari Cina. Budaya Melayu yang terletak di daerah pesisir telah menyerap berbagai unsur budaya asing.
9. Kain songket berakam dari Palembang Sumatera Selatan, koleksi Museum Bala Putra Dewa Sumatera Selatan
Material: Benang Katun, pewarna kimia, benang perak; pakan tambahan
Penggunaan benang perak pada tenunan tradisional di Sumatera Selatan jarang ditemukan, sebaliknya benang emas hampir selalu digunakan. Wastra ini menampilkan ragam hias tradisional berupa kembang manggis yang diatur dalam kisi miring. Wastra songket ini dapat digunakan untuk pakaian pesta maupun pakaian formal, serta dapat digunakan oleh pria dan wanita dengan baju lokal.
10. Kain Bentenan dari Minahasa, koleksi Museum negeri Propinsi Sulawesi Utara
Material: benang, pewarna sintetis
Masyarakat Bantik dari Minahasa yang berada di ujung semenanjung Sulawesi Utara dahulu terkenal karena keahliannya membuat tenun ikat lungsi yang disebut "Kain Bentenan". Tetapi wastra ini tidak lagi dibuat sejak tahun 1990. Beberapa tahun yang lalu diciptakan Wastra ikat lungsi generasi baru yang ditenun di Jawa Tengah dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) menggunakan benang dan pewarna sintetis. Ragam Hias yang digunakan berasal dari koleksi "Kain Bentenan" dari museum Belanda.
11. Lau Katipa dari Sumba Timur Nusa Tenggara Timur, koleksi dari Museum Nasional Indonesia.
Material: katun, anyaman manik-manik,ikat lungsi; lungsi tambahan
Sarung Sumba berhiaskan manik-manik digunakan perempuan dari kalangan maramba (bangsawan) saat menghadiri upacara adat yang penting. Tampilan ragam hias pada contoh ini dibuat dengan tiga teknik yang berbeda: anyaman manik-manik si atas; teknik lungsi tambahan (pahikungu) di tengah; teknik ikat lungsi di bawah.
12. Geringsing Wayang dari Desa Tenganan Pageringsingan Karangasem Bali, koleksi Museum Nasional Indonesia
Material: Kapas pintal tangan, pewarna alam, ikat ganda
ikat ganda yang disebut geringsing, merupakan teknik yang sangat sulit dibuat dan hanya ditemukan di beberapa tempat di dunia, salah satunya di desa Tenganan Pageringsingan. Pada tenun ikat ganda, benang lungsi dan benang pakan diikat dan dicelup secara terlebih dahulu sebelum ditenun untuk membentuk ragam hias. Untuk itu dibutuhkan penenun yang sangat terampil agar dapat membuat ragam hias yang presisi dari benang lungsi dan benang pakan. Semua kain Geringsing memiliki fungsi ritual. Akhir-akhir ini ragam hias dan warna kain geringsing telah disesuaikan untuk kebutuhan seni dan souvenir.
13. Hinggi Kombu dari Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur koleksi museum Tekstil Jakarta
Material: Katun, pewarna kimia, ikat lungsi, tenun sederhana.
Fitur menarik dari tenun ini adalah pada deretan figur besar dekat ujung kain berupa lambang Republik Indonesia Garuda Pancasila. Penenun Sumba Timur sangat pandai menggabungkan ragam hias baru ke dalam tenunan mereka.
Label:
art,
batik,
culture,
eksotika lampung,
museum
Langganan:
Postingan (Atom)